
Pamplet Masa Darurat
/1/
Di usiaku yang muda,
dunia telah bergeser ke arah
yang menakutkan.
Tentu, aku iba melihat orang-orang
mati di waktu yang belum tepat.
Sungguh ironis. Manusia berjuang untuk hidup,
dan sungguh terpukul manusia kembali sadar:
teriak-teriak kematian !!
Aku bertanya-bertanya. Apakah setiap nyawa
yang terenggut adalah panggilan Tuhan?
dan aku mulai berpikir. Apakah ini era zaman
yang disebut-sebut oleh Nietzsche?
Jika betul. Marilah sejenak kita menari-nari
dan melihat masa depan yang hancur.
Ketika seorang filsuf Francis berkata, “aku berpikir maka ada”
kini aku ingin berkata,” orang-orang akan mulai berpikir tentang dirinya
ketika dunia mulai mengancam kematian.
Oh sungguh, kecewa. Ketika aku melihat seorang perempuan
yang berbaring di kasur: berubah menjadi virus mematikan.
Dunia memang absurd.
ia seperti serigala,
dan ia juga seperti tanaman indah
Ciputat, 2020
Pamplet Masa Darurat
/2/
Misalkan, kota ini punya penduduk ratusan jiwa.
Ada yang tinggal dalam gedung, ada pula yang tinggal dalam kandang babi.
Sayang, kemana kita akan berteduh?
Sedangkan orang-orang mulai berteriak kematian. Sayang, kemana kita berteduh?
Sekarang kita tidak bisa lari. sayangku, sekarang kita tidak bisa lari.
Di Jakarta, ada gedung-gedung pencakar langit berdiri. Tumbuh segar, memakan ratusan hektar penduduk.
Di Jakarta, ada negeri indah, misalkan kota tua. tempat kita membangun sebuah cinta seperti Bj Habibi dan Ainun.
Di Jakarta ada pabrik dan sejenis lainnya.
tapi, aku tidak bisa ke sana sayangku. Aku tidak bisa kesana. Tentu, jika negara tidak secepat halilintar pembelah langit.
Aku, kamu, dan anak kita mati sia-sia. Bukan karena ancaman. Tapi karena busung. Kita, tidak punya beras sayangku. Kita, tidak punya beras.
Sayangku. Kita tidak bisa kemana-kemana, kita tidak bisa berlari-
kecuali nasib baik, berpihak kepada kita.
Ciputat,2020
Pamplet Masa Darurat
/3/
Melihat Indonesia Raya,
mendengar jutaan rakyat
tersipu-sipu dengan situasi
darurat.
Di atas kepala kita, ada seribu
pertanyaan yang tak terjawab.
Manusia akan mati. Kita semua akan musnah
tapi, alangkah baiknya kita tidak mati sia-sia.
Di sebuah kota besar, Jauh dari serdadu-serdadu Jepang
kita tetap merasakan ketakutan.
Tentu kita takut, bukan karena ancaman
alat perang tentara Belanda.
Mari kita berpikir sejenak…..
Ciputat, 2020
Penulis:
Moh. Alim,Lahir di Madura, 20 Maret 1997. Menempuh pendidikan di jurusan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Beberapa tulisannya pernah termuat di beberapa media. Aktif di Formaci (Forum Mahasiswa Ciputat), dan INCA (Indonesian Culture Academy), juga ikut serta dalam pengembangan seni di Teater Syahid dan Teater Tonggak. Saat ini aktif sebagai jurnalis kliksaja.co